Selasa, 13 Maret 2012

Chairil Anwar: Riwayat dan Karya

Gambar diambil dari halaman ini



Chairil Anwar yang dipandang sebagai pelopor "Angkatan 45" ini lahir 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Chairil dimakamkan di tempat pemakaman Karet. Chairil sempat mengikuti pendidikan MULO, walaupun tidak tamat. Kumpulan puisinya: Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950). Buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir ditulis bersama Rivai Apin dan Asrul Sani. Chairil sempat menjadi redaktur Gelanggang (1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). 

Puisi Chairil yang sangat populer: Aku, Krawang-Bekasi, Derai-derai Cemara, dan Yang Terampas dan Yang Putus. Puisi "Aku" dipelajari di sekolah-sekolah. Puisi itu menggambarkan energi dinamis, kebebasan dan kemandirian Chairil.


Di bawah ini terdapat puisi-puisi yang dibuat Chairil Anwar:



AKU

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943






DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya nyawa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948



YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
  di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949



Teks ditulis oleh: Manaek Sinaga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar